Indonesia terkenal dengan kebudayaan yang beragam. Banyak suku bangsa yang mendiami Negara kurang lebih 250 juta jiwa ini salah satunya dikta.
Indonesia memiliki kurang lebih 17 ribu pulau, 1500 suku dan 1027 bahasa. Kebijakan pembangunan mengancam kelestarian budaya suku asli Indonesia. Akibatnya banyak suku di Indonesia yang terancam punah. Padahal tempat mereka terancam adalah daerah mereka sendiri yang ditinggal sejak dahulu.
Banyak diantara mereka harus menyingkir dari daerah mereka sendiri karena adanya keegooan dari para pengusaha.
Selaindariitu, penyebabnya juga bervariasi mulai dari pergeseran kebudaya antradisionalke modern hingga kerusakan alam yang luar biasa terjadi.
Suku pedalaman atau suku terasing di Indonesia adalah suku yang berada di daerah yang masih terisolasi dari dunia luar.
Dalam konsep pemahaman, secara hafiah suku terasing merupakan komunitas suku yang tinggal di pedalaman yang memiliki segala keterbatasan.
Ada beberapa suku pedalaman yang hampir punah di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
1. Suku Mentawai
Kita tau bahwa dari sejarah bahwa sebagai penduduk asli dari kepulauan mentawai di Sumatra barat, suku mentawai ternyata diklaim sebagai suku tertua di Indonesia dan sudah menempati kepulauan ini sejak tahun 500 sebelum masehi.
Sebagai suku nias dan suku enggano, mereka adalah pendukung budaya proto melayu yang menetap dikepulauan nusantara sebelah barat.
Karena merupakan suku pedalaman, suku mentawai banyak dijadikan sebagai bahan penelitian oleh banayak pihak yang dimana penelitian dilakukan untuk memahami bagaimana pola hidup dan pola interaksi dan pola hidup yang terjadi di suku bagian barat.
Dengan adanya arus modernisasi yang artianya perubahan atau perkembangan zaman, keberadaan suku mentawai mulai menyusut, dikarenakan adanya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab yang makin mengancam keberadaannya.
2. Suku anak dalam
Tidak asing lagi, suku anak dalam sering juga di sebut dengan suku kubu dengan istilah penyebutan untuk masyarakat yang tinggal dikawasan hutan dataran rendah di Sumatera Tengah, khususnya jambi.
Penyebutan ini menggenarilasasi dua kelompok masyarakat yaitu orang rimba dan suku batin Sembilan.
Penyebutan orang rimba mengacu pada tempat tinggal komunitas ini yang memilih berada di dalam hutan dataran rendah.
Penghidupan hidup mereka bersumber dari berburu dan meramu hasil hutan. Tempat tinggalnya dalam pondok-pondok sederhana dari material yang berada di hutan, kayu-kayu untuktiang dan lantai, daun serdang untuk atap, pengikatnya menggunakan rotan.
Cawat dan kemben untuk menutup adalah pakaiannya untuk menutup bagian tubuhnya terutama organ vitalnya.
Dengan pola hidup yang dijalani kelompok ini, masyarakat menyebut dengan nama kubu. Dalam bahasa melayu memiliki makna peyorasi seperti primitive, bodoh, kafir, dan menjijikkan.
Sedangkan pemerintah provinsi Jambi menamakan kelompok masyarakat yang tinggal di dalam hutan dan tidak menganut norma sama dengan masyarakat melayu ini dengan sebutan suku anak dalam yang memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman.
Suku anak dalam memiliki kebiasaan yang unik. Mereka tidak menggunakan kain sebagai alas pakaian, akan tetapi kulit kayu yang di gunakan untuk menutup area tubuh mereka baik perempuan atau pun laki-laki.
Dari begitu banyak versi asal-usul orang rimba, memang sulit untuk dibuktikan karena tidak ditemukan adanya bukti-bukti yang mengarah kesana.
Ada beberapa komunitas yang mengatakan jika merasa berasal dari kerajaan pagaruyung, atau pun Sriwijaya, maka dalam kehidupan mereka seharusnya juga telah mengenal peradaban yang ada pada masa itu, yang mungkin diturunkan kepada keturunannya seperti membuat rumah, bercocok tanam dan lain sebagainya.
Dengan jumlah populasi yang hanya 200 ribuan orang, dengan seiring berkembangnya zaman, suku anak dalam juga menghadapi ancaman kepunahan.
Penyebabnya adalah banyaknya hutan yang di gusur untuk kawasan pemukiman bahkan untuk kepentingan pribadi seperti industry ataupun kebun sawit.
3. Suku sakai
Suku sakai merupakan salah satu suku yang mendiami kawasan pedalaman Riau di pulau Sumatera.
Suku sakai diyakini berasal dari Pagaruyung, sebuah kerajaan Melayu yang pernah ada di Sumatera Barat.
Suku sakai memiliki pola kehidupan yang masih nomaden, berpindah-pindah dari satu kawasan kekawasan lainnya.
Dengan kehidupan yang berpindah-pindah, suku sakai umumnya tinggal di suatu pondokan yang mudah dibongkar. Di dalam satu pondok tinggal beberapa keluarga dan satu orang pemimpin yang di sebut dengan batin.
Kehidupan suku sakai yang berpindah-pindah tentu meninggalkan suatu kebudayaan yang cukup menarik di tempat yang pernah ditinggalinya.
Hal tersebut bisa dilihat dari peninggalan kebudayaan sakai yang biasadigunakan untuk membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka di daerah pedalaman.
Suku sakai sangat menghormati hutan, adat mereka. Suku sakai juga memiliki peraturan tertentu yang tidak boleh dilakukan ataupun dilanggar, salah satunya adalah penebangan pohon.
Jika melanggar peraturan ini akan dikenakan sangsi ataupun di denda dengan uang yang jumlahnya setara dengan emas dalam ukuran tertentu atau pun dilihat dari usia pohon yang di tebang.
Suku sakai hidup di daerah pedalaman yang menggantungkan hidupnya pada alam. Ketergantungan pada alam tersebut membuat suku sakai menjadi suku yang masih hidup secara tradisional.
Bahkan kehidupan suku sakai terkesan jauh dari peradaban dan perkembangan zaman. Suku sakai selalu menempati lokasi yang dekat dengan aliran sungai, karena air memang menjadi sumber kehidupan utama bagimanusia.
Alasan suku sakai terancam punah yaitu disebabkan eksploitasi hutan yang berlebihan dan ini juga mendorong suku sakai kebibir jurang kepunahan. Suku yang mendiami Riau ini menggantungkan hidup pada hutan.
Dari setiap mata pencaharian suku pedalaman memiliki aturan-aturan baik berupa larangan-larangan maupun tata cara dalam melakukan suatu kegiatan dan jika dilanggar akan terkena denda adat.
Tantangan besar dari luarlah yang sangat berat bagi suku pedalaman. Dengan masuknya perusahaan-perusahaan besar yang membuka hutan menjadi perkebunan, ditambah dengan masyarakat luar yang melakukan pemburuan liar dan penebangan pohon-pohon besar untuk di jual.
Ini menyebabkan hutan wilayah pengembaran mereka semakin sempit, dan menyebabkan pola pencaharian hidup mereka semakin sempit maka dari itu untuk mengatasi kepunahan suku anak dalam ada beberapa hal yang dilakukan, yaitu dengan tidak mengambil segala yang ada di hutan secara berlebihan dan tetap menjaga kelestarian hutan.
0 Komentar